Cerita "Jalan Tikus" APEC Bali 2013

Cerita “Jalan Tikus” APEC Bali 2013

Kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) menjadi salah satu isu hot dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) Indonesia 2013, 1-8 Oktober di Bali. Komoditi ini sejak setahun lalu memang terus menjadi isu utama yang diperdebatkan negara-negara APEC.

Bila pada APEC Summit Russia 2012 lalu terjadi kebuntuan terkait status kelapa sawit, maka kali ini ada jalan keluar untuk produk andalan Indonesia itu walaupun melalui jalan yang tidak mudah serta berliku. Ibaratnya kita mencari ‘jalan tikus’ di tengah kemacetan ibukota Jakarta. Opsi ‘jalan tikus’ ini memang tak terelakkan setelah negara-negara maju sejak KTT APEC Vladivostok lalu ‘kosisten’ mengganjal masuknya kelapa sawit. Amerika Serikat (AS) merupakan salah satu negara yang mempersoalkan sawit melalui skema environmental goods (EG). Kelapa sawit dianggap kurang pro-lingkungan, dan oleh karenanya dipersulit mendapatkan sejumlah insentif dari forum APEC, termasuk bebas masuk ke negara-negara anggota.

Sebagai negara berlabel the biggest exporter, Indonesia sangat berkepentingan agar palm oil memiliki pangsa pasar yang lebih luas lagi, khususnya ke negara-negara maju. Dan ini bukan sikap bonek atau bondho nekat semata, melainkan karena adanya pengakuan atas sawit dari sejumlah lembaga. Salah satunya dari Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) AS, 2012 lalu, dimana lembaga sertifikasi tersebut telah melegalisasi status kelapa sawit. Meski begitu, isu minyak sawit di forum APEC bukan soal lingkungan dan ekonomi semata, melainkan juga politik dan kepentingan negara-negara anggotanya. Di sinilah pentingnya kemampuan diplomasi, negoisasi dan kemampuan membaca setiap perkembangan.

Skenario Baru

Maka dari itu, seiring adanya gejala penolakan sawit di awal perhelatan KTT APEC Bali—dengan kakunya parameter EG—Presiden SBY menginstruksikan agar delegasi Indonesia menyiapkan skenario baru untuk mengawal kelapa sawit agar bisa diterima negara-negara APEC. Ini adalah ‘jalan tikus’ sebagaimana dikutip di atas, agar kelapa sawit tetap sampai tujuan, meski melalui jalan yang sedikit berkelok. Jalan berkelok dimaksud adalah perubahan strategi dengan mengusulkan daftar baru dengan syarat tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga terbarukan, mendorong pembangunan perdesaan, dan pengentasan kemiskinan. Dengan label Promoting Products with Contribute to Sustainable and Inclusive Growth through Rural Developmnet and Poverty Alleviation, yang disampaikan dalam sesi persidangan di tingkat menteri KTT APEC 2013 di Nusa Dua, Bali, usulan atau inisiatif Indonesia tersebut akhirnya diterima. Skema terbaru ini diterima karena dianggap lebih konseptual. Di dalamnya mencakup empat parameter penting, yakni keberlanjutan, iklusivitas, pembangunan pedesaan, dan pembangunan pedesaan, serta pengentasan kemiskinan.

Bagi Indonesia, diterimanya CPO di APEC kali ini ibarat kejutan. Paling tidak itu yang bisa digambarkan, karena CPO di forum-forum internasional sebelumnya selalu dianggap ancaman lingkungan. Mengapa kali ini negara-negara APEC menerima sawit? Bila ditelisik mendalam, para APEC members kali ini mendapatkan pemahaman utuh, bahwa ujung dari skenario Indonesia itu juga akan meningkatkan kesadaran pentingnya pelestarian lingkungan. Selain itu, masyarakat pedesaan juga akan merasakan langsung manfaat ekonominya. Ini akan direfleksikan secara umum dalam Deklarasi Pemimpin APEC. Prakarsa ini juga sejalan dengan aspirasi yang dibawa Indonesia di berbagai forum internasional, yaitu perhatian khusus pada kesenjangan pembangunan di negara-negara berkembang. Juga sejalan dengan tema dan prioritas APEC 2013 yang secara tidak langsung hendak membawa kerja sama APEC kembali ke ‘khitah’ Deklarasi Bogor 1994.

Bila Deklarasi Bogor tahun 1994 dipelajari dengan seksama, maka semangat para pemimpin APEC saat itu adalah sebuah kawasan Asia-Pasifik yang bebas dan terbuka dalam hal perdagangan dan investasi. Selain itu, para leaders juga membayangkan sebuah kawasan yang mengedepankan pemerataan keadilan. Pasca diterimanya CPO di APEC, kerangka waktu yang ditargetkan bagi prakarsa ini akan sama dengan APEC EG List, yakni pada tahun 2015. Term of Reference akan segera disusun bersama oleh pemrakarsa dan kosponsor untuk memulai sebuah analisis guna menjabarkan lebih lanjut parameter yang diusulkan, yaitu sustainable, inclusive, rural development, poverty alleviation.

Tidak hanya Indonesia, sejumlah negara juga menjadi kosponsor dari ‘jalan tikus’ sawit di atas. Diantaranya China, Papua Nugini, Peru dan Malaysia. Bahkan AS yang sebelumnya terus mengganjal CPO, kali ini justru memberikan sumbangan ide dalam pembuatan working paper dari inisiatif ini. Dengan kata lain tidak ada negoisasi trade khusus dengan AS. Sementara Peru, dengan mendukung CPO yang diusulkan Indonesia, mereka ingin mendorong produk organiknya agar bisa lebih bersaing di perdagangan internasional. Bagi kalangan pengusaha sawit sendiri, hasil di Bali ini tampaknya akan disyukuri. Pasalnya sejak tahun lalu pelaku bisnis CPO sudah mendorong pemerintah agar aktif berdiplomasi mengamankan sawit di APEC. Sebagaimana disampaikan Joko Supriyanto, Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk bahwa pemerintah memang harus siap pasang badan membela sawit karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak, terutama terkait kepentingan petani sawit yang jumlahnya sangat besar. Ia berharap komitmen pemerintah membela sawit bisa diwujudkan dengan sungguh-sungguh, termasuk melalui negosiasi dengan negara-negara konsumen.

Bogor Goals

Di luar sawit, dalam skala yang lebih luas, APEC Bali 2013 pada dasarnya terus mendorong kesiapan negara-negara anggota APEC dalam mengimplementasikan Bogor Goals. Meskipun telah ada sejumlah kemajuan dalam road map Bogor Goals, namun masih banyak yang harus dilakukan APEC untuk mencapai perdagangan bebas tahun 2020. Kuncinya ada pada tiga pilar, yakni mencapai Bogor Goals, pertumbuhan yang berkelanjutan dan berkeadilan, serta konektivitas.

Pertama, memastikan aturan yang berbasis keterbukaan, sistem perdagangan multilateral yang transparan dan tidak diskriminatif. Sistem perdagangan multilateral bisa berfungsi sebagai sumber penting pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, pembangunan, dan stabilitas.

Kedua, untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dan berkeadilan, APEC harus mencapai Tujuan Bogor pada 2020 sesuai dengan prinsip saling menguntungkan atau win-win solution. Dalam hal ini pembangunan dan kerja sama teknis tetap penting untuk APEC.

Ketiga, walaupun APEC telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam kerja sama perdagangan dan investasi, tapi melihat dinamika yang kuat di kawasan Asia Pasifik saat ini, forum ini memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mencapai perdagangan yang lebih produktif dan lebih besar, serta meningkatkan investasi.

Untuk memaksimalkan peluang ini, kawasan APEC perlu lebih saling terkoneksi dan saling terkait. Untuk itu, kita perlu membangun konektivitas yang lebih baik. Dengan konektivitas, negara-negara APEC akan memberikan peluang yang lebih besar kepada masyarakat untuk menuai keuntungan dari pertumbuhan ekonomi.

Akhirnya kita berharap KTT APEC Indonesia 2013 di Bali kali ini dapat menghasilkan kebijakan-kebijakan nyata, praktis dan bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Indonesia, sesuai sasaran Bogor Goals di atas. Salah satunya sebagaimana terlihat dalam intervensi kita pada isu kelapa sawit kali ini yang akhirnya bisa diterima negara-negara APEC.