Dua Kutub Nasionalisme Ekonomi

Dua Kutub Nasionalisme Ekonomi

Majalah Forum, No.32/06 Desember, 12 Desember 2010, Oleh Zaenal A Budiyono

Debat panjang isu nasionalisme ekonomi tampaknya masih aktual hingga kapan pun, bahkan mungkin sampai kiamat nanti. Setiap kelompok membangun basis pemikirannya masing-masing terkait nasionalisme dimaksud. Walau demikian, jika disarikan, nyaris semua pendapat mengenai nasionalisme ekonomi bermuara pada satu kalimat: pembangunan ekonomi demi kesejahteraan rakyat. Meskipun “berdamai” pada tujuan, bukan berarti tak ada perbedaan antar-kelompok di atas.

Jika dikategorisasi, warna nasionalisme ekonomi yang berkembang di Indonesia terbagi ke dalam dua kutub besar.

Pertama, kelompok yang berpegang pada “doktrin” nasionalisme ekonomi awal Abad-XX. Bagi kelompok ini, ekonomi suatu negara harus benar-benar dikuasai oleh negara bersangkutan tanpa campur tangan swasta, terlebih swasta asing.

Kedua, kelompok yang melihat nasionalisme ekonomi sebagai benda hidup yang dapat terus menyesuaikan diri dengan zaman. Pertentangan dua kutub di atas kini mencuat kembali.

Ironisnya, entah karena terjebak dalam debat melelahkan dan adu argumen tanpa henti, kita lupa (atau terlambat) melakukan pembangunan ekonomi itu sendiri. Maksudnya, bahwa kita sebagai bangsa harus mencapai titik temu (kesepakatan) untuk kemudian bergerak, maju bersama. Itu dimungkinkan jika masing-masing pihak dapat melakukan kompromi atas “keyakinan” mereka masing-masing. Bukankah tidak ada ideologi yang hakiki dan sempurna? Semua bisa berkembang sesuai zamannya—hanya Al-Quran dan Al-Kitab yang tak akan berubah. Bahkan Daniel Bell mengatakan ideologi telah mati.

Di saat kita sibuk berdebat, negara-negara tetangga dan juga negara berkembang lainnya lebih sigap mengambil peluang dari perubahan dunia yang berlangsung demikian cepat. China misalnya. Siapa yang tak kenal negara Tirai Bambu ini sebagai basis Komunisme terkuat di dunia selain Uni Soviet (dulu) dan Korea Utara. Namun “nasib” China berbeda dengan Soviet yang bubar dan Korea Utara yang tertatih-tatih dalam membangun ekonominya.

Elit-elit China terbukti mampu berfikir stratejik sekaligus pragmatis sehingga tak terbebani secara kaku dengan bayang-bayang ideologi mereka. Pemimpin China, Deng Xiau Ping secara vulgar mengatakan; “tidak penting apakah kucing berwarna putih atau hitam, yang jelas adalah dia harus bisa menangkap tikus”. Dalam konteks ekonomi, kalimat legendaris Deng dapat diartikan demikian; tak penting apa jenis nasionalisme ekonomi yang kita anut, yang terpenting adalah mampu membawa kesejahteraan dan membuka lapangan kerja bagi rakyat. Dan Deng benar. China yang di tahun 1970-an tak lebih baik dari kita, kini melejit luar biasa menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi. Bisakah elit-elit kita berfikir stratejik jauh ke depan seperti yang dilakukan Deng?

Kwik dan Gita

Di Indonesia 2010, dua kutub nasionalisme ekonomi seolah terwakili oleh pemikiran Kwik Kian Gie dan Gita I Wirjawan. Ini hanyalah simplifikasi penulis untuk memudahkan pemetaan kontemporer. Tentu saja di belakangnya masih banyak nama-nama lain yang menganut fajam sejenis. Kwik Kian Gie bukanlah nama asing dalam khazanah ekonomi Indonesia. Ia dikenal sebagai pemikir ekonomi ulung, politisi dan juga mantan birokrat. Sementara Gita I Wirjawan adalah tokoh muda yang memiliki karier cemerlang dan telah malang-melintang di panggung ekonomi global.

Gita, yang sekarang menjabat Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) meyakini bahwa pembangunan ekonomi harus didukung investasi, termasuk di dalamnya Foreign Direct Investment (FDI). Oleh karena itu di awal tugasnya di BKPM, ia membuat sejumlah terobosan untuk mendongkrak volume investasi. Diantaranya mempermudah perijinan dengan metode Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Terbukti dengan memotong puluhan meja (di masa sebelumnya), ijin investasi bisa dipersingkat hingga 5 hari. Hasilnya, sampai dengan kuartal III 2010, nilai investasi sudah mencapai Rp. 149,6 Triliun, dari yang ditargetkan pada akhir tahun nanti sekitar Rp. 200 Triliun.

Kembali ke isu nasionalisme ekonomi, Gita dalam salah satu tulisannya menyitir sejarah Yunani kuno terkait naluri thymos, yakni kebutuhan akan pengakuan atau penghargaan yang sering kali diwujudkan dengan semangat membela kelompok, klan, suku bangsa, atau kota. Sifat naluriah ini tampak pula dalam suatu konsep yang kerap disebut nasionalisme ekonomi.

Gita menambahkan bahwa setiap negara tentu selalu mengedepankan kepentingan nasional, dan karena itu konsep nasionalisme ekonomi bisa ditemukan di negara mana pun, bahkan di AS yang dianggap selalu berorientasi ”pasar bebas”. Slogan ”buy American” atau panggilan untuk mengonsumsi produk-produk AS, misalnya, adalah salah satu contohnya. Upaya mendorong konsumsi produk nasional ini juga banyak dilakukan di negara-negara lain, termasuk di Indonesia.

Namun tak mudah “mengikat” konsumen agar loyal terhadap produk nasional mereka tanpa meningkatkan kualitas dan nilai tambah produk tersebut. Ini semua hanya bisa dilakukan jika investasi dan teknologi masuk dan beroperasi di Indonesia. Oleh karenanya, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mentargetkan untuk “memaksa” investor asing agar tak hanya mengekspor bahan mentah ke luar. Lebih utama dari itu, mereka harus mengolah bahan mentah tersebut menjadi barang jadi di dalam negeri. Dengan demikian maka manfaat dari FDI akan lebih luas menjangkau masyarakat.

Melihat argumen Gita, Kwik menolak semua itu. Ia tidak yakin investor asing dapat diatur dengan hukum Indonesia. “Apa ada pemilik modal yang membagi bagian terbesar dari rendemen modalnya untuk orang lain? Kalau betul, alangkah bodoh pemilik modal yang bersangkutan!”, demikian kutipan dari tulisan Kwik terkait investasi asing. Tentu saja pandangan ini sah-sah saja, karena faktanya law enforcement di negeri ini masih jalan di tempat. Namun dalam jangka menengah dan panjang kita harus optimis. Apalagi dengan makin cerdasnya masyarakat dah tumbuhnya sikap kritis di kelas menengah, cepat atau lambat, kualitas penegakan hukum juga akan “dipaksa” berubah untuk lebih baik. Seperti kata Walikota Surakarta, peraih Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) 2010, bahwa gelombang good governance (termasuk penegakan hukum) tidak bisa ditahan oleh siapa pun. Kita yang berubah atau kita akan tergulung.

Keterbatasan Dana

Alasan lain yang membuat investasi asing tak bisa dihindari adalah dengan adanya fakta keterbatasan dana perbankan dalam negeri. Target investasi yang kita tetapkan perannya sangat signifikan dalam menopang pertumbuhan ekonomi yang sehat menuju bangsa yang modern. Hanya saja, kemampuan perbankan dan dana yang dimiliki pengusaha nasional sangat terbatas. Oleh karenanya investasi asing dapat dijadikan opsi. Meski demikian, perlindungan terhadap kedaulatan ekonomi kita tetaplah di atas segalanya. Maka dari itu, pemerintah sudah menyiapkan instrumen, berupa Perpres No 36 Tahun 2010, atau biasa dikenal sebagai Perpres Daftar Negatif Investasi (DNI).

Selanjutnya, perlu keterbukaan dalam pemikiran mengenai Foreign Direct Investment (FDI). Dan itu bisa juga dimanfaatkan untuk kemitraan dengan mitra-mitra lokal agar mereka juga bisa menjadi entrepreneur lokal yg piawai. Target investasi kita berupaya mencapai angka Rp. 10.000 triliun. Sedangkan aset perbankan hanya kurang dari Rp. 3.000 Trilun. Ini dengan catatan hanya bisa tumbuh 20 persen per tahun. Lalu bagaimana caranya untuk menutup sisa Rp. 7.000 Triliunnya? Sedangkan pihak bank hanya bisa memberikan maksimal Rp. 2 Triliun kredit ke masing-masing pengusaha, karena batasan legal lending limit.

Terlepas dari masih hangatnya perdebatan dua kutub nasionalisme ekonomi di atas, kita harus berani membangun berdialog secara jujur dan terbuka guna menemukan suatu konsensus nasional pembangunan sistem ekonomi masa depan. Karena jika tidak, nanti it will be too late. Negara-negara tetangga kita justru yang akan menikmati aliran FDI tersebut, karena kita tak mampu mengelolanya. Malaysia dan Singapura, adalah dua negara yang mampu memaksimalkan FDI untuk mendukung pertumbuhan ekonomi mereka. Dari uraian di atas, kita sampai pada kesimpulan bahwa investasi dalam jumlah besar, termasuk FDI sangat kita perlukan. Hal tersebut merupakan fakta yang tak bisa disangkal.

Anehnya, setiap kali pemerintah berupaya menarik investasi, selalu saja isu nasionalisme ekonomi dan jargon “asing” muncul sehingga kontraproduktif terhadap kampanye investasi Indonesia. Jangan-jangan isu tersebut sengaja ditiupkan oleh kelompok tertentu (pengusaha) untuk “mengamankan” kepentingan yang mereka reguk selama ini, serta tidak ingin keuntungan mereka disebarluaskan ke pengusaha-pengusaha lainnya. Akhirnya kesejahteraan yang berkeadilan di negara kita tidak akan tercapai hanya karena kepentingan segelintir manusia di negara kita sendiri. Seperti sindiran Obama belum lama ini, bahwa setelah penjajah asing pergi, jangan ada lagi penjajah bangsa sendiri.

Leave a Reply