Garuda Indonesia : Cukup dengan SkyTrax Awards?

Garuda Indonesia : Cukup dengan SkyTrax Awards?

Airmagz.com – Alunan musik instrumental menyambut penumpang masuk ke badan pesawat Airbus 777-300ER milik maskapai nasional (National Flag Carrier) Garuda Indonesia. Tak berapa lama kemudian co-pilot mengumumkan bahwa pesawat akan terbang ke London via Singapura. Saat itu pukul 8 pagi waktu Jakarta. Tidak semua kursi terisi, hanya 70 persenan. Saya tidak hendak ke London, melainkan “kebawa” pesawat gede tersebut yang kebetulan mampir Singapura. Mungkin setengah dari 70 persen penumpang itu juga turun di Singapura—tidak ke London.

Setelah merapikan cabin baggage, saya langsung duduk dan memasang safety belt. Sekitar 10 meter di depan ada sticker emas mencolok, berlogo Skytrax. “5 Stars Airlines SkyTrax”, begitu kira-kira isi pesannya. Bangga! Ternyata kita juga bisa mewujudkan layanan penerbangan kelas dunia. Sebenarnya awards ini bukan kali pertama bagi Garuda. Sejak 2012 berbagai penghargaan internasional setiap tahun diraih. Itu wujud peningkatan kualitas layanan Garuda yang mendapatkan apresiasi dunia.

Namun apakah cukup dengan awards? Lalu apa agenda Garuda yang harus dilakukan pasca panen awards tersebut? Saya tergelitik dengan pernyataan salah satu pejabat kementerian terkait dalam satu diskusi bulan lalu bahwa rute Jakarta – London sejatinya tidak menguntungkan. Kok bisa? Kalau yang ngomong bukan pihak dari otoritas yang berwenang, saya anggap sebagai guyonan saja. Tapi bisik-bisik dari teman (sumber lain) menyatakan hal yang sama.

Maka ke depan, ketika ada rencana Garuda untuk terbang langsung (direct flight) ke Amerika Serikat (masih rencana), banyak yang meragukan. Alasannya simpel, lebih baik kuatkan dulu jalur yang ada, dan ekspansi di jalur regional, daripada terbang langsung antar benua yang pasarnya belum jelas. Sekedar gambaran, Indonesia dengan predikat sebagai negara terbesar di ASEAN, ternyata hanya terbang ke tiga negara, yaitu Singapura, Malaysia dan Thailand. Padahal ada 10 negara anggota ASEAN yang kini sudah terikat dalam ASEAN Open Sky Policy.

Kurang Agresif di ASEAN

Sementara maskapai negara tetangga yang masuk ke Indonesia lebih banyak, tak kurang dari 6 negara, diantaranya Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filipina. Mengapa Garuda tidak terbang ke tiga negara lainnya? Padahal pasarnya jelas, karena pesawat seperti Philipines Airlines dan Vietnam Airlines untuk rute Jakarta ke kedua negara tersebut relatif padat.

Dengan berbagai penghargaan yang didapat, seharusnya Garuda menjadi yang terdepan di ASEAN—paling tidak bersaing dengan Singapore Airlines, yang memiliki rute ke hampir semua negara ASEAN, bahkan sudah menjadi airlines skala global. Dengan kapasitas yang dimiliki, Garuda seharusnya bisa menuju kesana secara bertahap. Yang terpenting, di tengah persaingan yang semakin ketat, perlu jurus jitu dan inovasi yang tidak biasa agar bisa menarik perhatian publik.

Ambil contoh rute Jakarta-Singapore-London yang sudah berjalan beberapa waktu, namun gaungnya kurang kencang di tanah air, apalagi di negara tetangga. Padahal demand passanger Singapore-London cukup besar. Hal ini dibuktikan dengan padatnya penerbangan ke sana, yang didominasi Singapore Airlines (SQ) dan British Airways (BA). Ada beberapa faktor yang membuat jalur Singapore-London “sexy”. Pertama, hubungan historis Singapore – Inggris, turut menjadi faktor padatnya jalur tersebut. Kedua, kelas menengah Singapore yang terus tumbuh membuat London dan Eropa bukan destinasi yang mewah. Ketiga, keberadaan Changi Airport sebagai hub di ASEAN membuat alur penumpang datang dari berbagai arah. Keempat, attraction London, khususnya sport tourism dengan Liga Inggris-nya.

Keempat faktor di atas seharusnya menjadi “santapan” divisi marketing Garuda Indonesia untuk bersaing dengan SQ dan BA. SQ kita tahu merupakan penerbangan kelas premium yang mahal. Tapi BA harganya lebih murah, dan ini bisa dijadikan target oleh Garuda untuk mengambil kue penumpang dari BA. Berdasarkan pengalaman sejumlah pihak yang kami rekam, interior pesawat BA relatif kurang nyaman untuk penerbangan di atas 5 jam. Salah satunya karena jarak antar kursi di kelas ekonomi yang sempit. Di sisi lain Garuda dikenal sebagai maskapai dengan kursi ekonomi cukup nyaman. Inilah yang harus dijual.

Dengan banyaknya penumpang dengan kemampuan menengah, seperti pelajar dari Asia Tenggara yang menempuh studi di Inggris dan sekitarnya, juga jumlah turis yang terus meningkat, rute Jakarta-Singapore-London milik Garuda berpotensi menyodok BA. Apalagi ditambah reputasi awards tersebut menambah sentimen positif publik meningkat. Namun itu saja tidak cukup bila tanpa penetrasi pasar secara agresif. Pengakuan beberapa mahasiswa dari Asia Tenggara yang kami temui, mereka tidak tahu ada penerbangan langsung ke London oleh Garuda. Padahal untuk jurusan lain mereka sering menggunakan Garuda. Nah, fakta ini harus ditindaklanjuti oleh manajemen Garuda untuk mengintensifkan marketing di negara-negara ASEAN, khususnya Singapura sebagai hub.

Beyond Marketing

Strategi lebih jauh yang bisa dicoba Garuda untuk mengamankan rute Jakarta-London, bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, menggarap serius potensi Liga Inggris, karena banyaknya fanbase di ASEAN. Kedua, memperbanyak codeshare dengan maskapai lokal. Popularitas English Premiere League (EPL) bisa menjadi daya tarik untuk penumpang di ASEAN dengan paket-paket khusus. Misalnya Garuda bekerjasama dengan Chelsea atau Arsenal (dua klub terbesar di London) untuk memberikan subsidi tiket bagi penumpang Garuda. Saya kira ide ini bisa berjalan, karena klub juga diuntungkan dengan ekspose antar benua.

Bagi penggemar sepakbola sendiri, paket wisata sport semacam ini cukup menguntungkan, karena mereka tidak perlu mencari akomodasi dan lain-lain. Begitu landing, langsung disiapkan transportasi dan akomodasi, serta tiket pertandingan. Siapa yang ga mau coba? Selama ini para penggemar Liga Inggris asal Indonesia berangkat sendiri-sendiri dan jumlahnya cukup banyak. Apalagi bila ditambah dari negara-negara tetangga. Ini jelas peluang, dan sejauh ini belum ada maskapai yang menggarapnya.

Kedua, memperbanyak codeshare untuk penerbangan jarak jauh. Saat ini Garuda sudah menjalankan codeshare dengan sejumlah maskapai. Sayangnya di ASEAN pun hal itu masih dilakukan. Seharunya jalur ASEAN dikuasai Garuda dengan direct flight. Codeshare justru diperlukan sebanyak-banyaknya untuk destinasi Asia Timur dan Barat, Middle East, Eropa, Amerika dan Afrika. Jika memungkinkan ke setiap ibukota negara di kawasan dan benua tersebut, Garuda memiliki codeshare flight dengan maskapai lokal. Dengan banyaknya jaringan codeshare membuat penumpang tidak khawatir dengan perpindahan bagasi yang merepotkan. Di sisi lain nama Garuda juga makin dikenal di belahan dunia lain.

Codeshare juga bisa menjadi solusi hemat untuk membangun jalur baru jarak jauh, meskipun kemampuan dan jumlah pesawat Garuda terbatas. Secara bertahap bila keuntungan meningkat dan armada bertambah, codeshare bisa pelan-pelan dikurangi—tentu dengan perhitungan bisnis yang matang—untuk kemudian diterbangi secara direct. Sekali lagi, penghargaan Five Stars Airlines dan yang lainnya bukan sulap yang bisa membuat Garuda untung seketika. Namun itu bisa menjadi modal untuk membangun bisnis Garuda yang makin cemerlang di masa depan. Tinggal dibutuhkan sentuhan marketing yang tajam, bahkan bisa jadi beyond marketing, untuk mengeksekusi ide-ide yang tidak biasa. Semoga!

Penulis : Zaenal A Budiyono

Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC). Tahun 2016-2017 DCSC Mengkaji Aviation Issues Secara Intensif dengan Mengadakan Sejumlah Diskusi di Beberapa Kota.

Leave a Reply