Koalisi pilpres, untuk rakyat atau elit?

Alinea.id – Kurang dari satu bulan lagi pemilu serentak 2019 memasuki tahapan krusial yakni pendaftaran Capres / Cawapres. Sebagaimana jadwal yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU), 4-10 Agustus 2018 merupakan waktu pendaftaran Capres / Cawapres.

Menariknya, hingga saat ini belum ada pasangan yang definitif ditetapkan partai politik maupun koalisi. Yang ada hanya isu nama Capres, yang sampai hari ini masih merujuk ke dua nama lama, Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Itupun dengan catatan keduanya belum diresmikan oleh koalisi masing-masing.

Lalu peluang terbentuknya poros ketiga juga makin gelap seiring konfigurasi koalisi yang semakin tidak pasti. Satu perbedaan mendasar dalam pola koalisi di sistem politik kita bila dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia misalnya, koalisi disana telah terbentuk jauh-jauh hari.

Dengan situasi demikian, koalisi punya waktu menyusun strategi bersama untuk memenangkan calonnya masing-masing. Tentu kita tahu sistem pemilu di Malaysia dan Indonesia berbeda. Namun kita sebenarnya memiliki ruang untuk membangun koalisi yang lebih kuat, dibanding pola last minute coalitions sebagaimana yang sering diihat sejak 2004, maupun saat Pilkada.

Sistem presidensial yang dijalankan memang tidak memungkinkan terbentuknya koalisi permanen. Namun demikian, partai-partai bisa membangun koalisi yang lebih rapi dan memiliki daya tahan lebih, daripada yang sekarang ada. Tujuannya tidak lain untuk memberi waktu kepada parpol dalam koalisi untuk menemukan chemistry. Dengan ada kesamaan pemikiran, dan waktu yang cukup, produk-produk politik yang dihasilkan juga akan lebih baik, utamanya dalam menyuarakan kepentingan rakyat.

Mengakomodasi elit

Secara teoritis, merujuk pandangan Geoffrey Pridham (1987), pertimbangan koalisi parpol biasanya berdasar tiga aspek utama, yaitu ideologi partai, kedekatan elit parpol, dan taktis (pragmatis). Pertama, koalisi ideologis (berdasar ideologi partai) merupakan bentuk koalisi yang ideal karena kerjasama antarpartai terjadi atas dasar kesamaan ideologi dan “warna politik”.

Kita tahu partai politik berbeda dengan organisasi lain, ia memiliki posisi yang khas dan tinggi dalam demokrasi. Salah satunya, dengan adanya previlage—jika boleh dikatakan demikian—dari partai, dimana ia diberikan ruang untuk merebut kekuasaan secara legal. Dalam hal ini perebutan kekuasaan tak sekedar merebut posisi tertentu, melainkan sebagai media pendidikan politik kepada rakyat (pemilih).

Itu bisa terjadi manakala partai-partai menyuguhkan persaingan tingkat ideologis—yang membedakan secara tegas satu partai dengan lainnya. Dalam perkembangannya, istilah ideologis dianggap terlalu klasik untuk potret partai politik kekinian, khususnya di Indonesia.

Selain itu, negara kita mengusung satu ideologi nasional bersama, yaitu Pancasila. Meski demikian, koalisi ideologis tetaplah relevan. Definisi ideologi tidak sekaku isme-isme di Abad XX, melainkan telah bertransformasi menjadi visi dan misi dari partai politik. Dengan kata lain, di Pilpres 2019 mendatang, koalisi yang ideal adalah koalisi berdasarkan kesepahaman visi dan misi parpol. Kesepahaman pandangan dalam cara membangun ekonomi bangsa, cara menjalankan pembangunan, cara mengatur kemakmuran bersama, dan cara mewujudkan keadilan sosial, sebagaimana amanat Pancasila.

Kedua, koalisi berdasar kedekatan elit. Model ini menitikberatkan pada hubungan personal antar elit yang menjadi elemen utama pembangunan koalisi. Koalisi tipe ini tampaknya yang paling lazim di Indonesia saat ini. Kita lihat misalnya koalisi Pilpres 2014, dimana pasangan Jokowi-JK saat itu didukung oleh PDIP, Nasdem, PKB, Hanura dan PKPI.

Sementara pasangan Prabowo-Hatta disokong Gerindra, Golkar, PKS, PPP, PAN dan PBB. Sikap Golkar saat itu cukup mengejutkan banyak pihak, dengan dukungannya ke Prabowo-Hatta. Pasalnya sebagai partai besar, Golkar tidak mendapat posisi Cawapres, yang diambil Hatta Rajasa (PAN). Pertanyaannya, mengapa Golkar tetap mendukung Prabowo? Faktor terbesarnya karena kedekatan antara Prabowo dengan Aburizal Bakrie (Ical) kala itu. Begitu juga dengan PPP yang di 2014 elitnya, Suryadharma Ali (SDA) memiliki kedekatan dengan Prabowo-Hatta.

Setelah Pilpres 2014 berlalu, terjadi perubahan mendasar dalam pola koalisi. Pecahnya Koalisi Merah Putih (KMP) 2015, yang diikuti terbelahnya di Golkar dan PPP berujung pada menyeberangnya dua partai peserta pemilu era Orde Baru itu dari kubu Prabowo ke kubu Jokowi sampai sekarang. Pengurus kedua parpol mengatakan perubahan dukungan itu atas pertimbangan organisasi dan program kerja pemerintah. Namun satu faktor yang jarang diulas, perubahan koalisi terjadi setelah SDA dan Ical tersingkir dari partai. Artinya koalisi atas pertimbangan kedekatan elit berlaku disini. Hal itu makin diperkuat dengan kedekatan Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum PPP, Romahurmuziy dengan Presiden Jokowi.

Dengan landscape politik semacam ini, dapat kita prediksi bahwa peta koalisi Pilpres 2019 masih terbentuk atas dasar kedekatan elit. Gerindra, PKS dan PAN yang kini menyokong Prabowo Subianto, membangun koalisi atas dasar kesepahaman antara Prabowo dengan Amien Rais, Zulkifli Hasan, dan Sohibul Imam.

Kalau misalnya tiba-tiba Prabowo berselisih paham dengan Amien, maka dengan sendirinya koalisi akan runtuh. Begitu pula bila Sohibul berseberangan dengan Prabowo, dengan sendirinya jalinan koalisi akan pudar. Hal yang sama berlaku di kubu Jokowi. Akibatnya, hukum koalisi bukan lagi memperjuangkan “nilai bersama”, atau merebut kekuasaan untuk menjalankan mazhab pembangunan tertentu, melainkan bagaimana menjaga kekompakan dan keakraban antar elit. Ini tentu suatu praktek yang mereduksi demokrasi. Dengan Pilpres 2019 yang sudah di depan mata, kita harapkan para elit menyadari pentingnya membangun koalisi berbasis visi, misi, program dan kepentingan publik, bukan sekedar mangakomodasi kepentingan para elit.

Arus balik demokrasi

Ketiga, koalisi yang bersifat taktis dan pragmatis. Kerjasama antar parpol dalam bentuk semacam ini tidak didasari atas pertimbangan ideologis maupun kedekatan elit parpol, namun lebih karena pertimbangan jangka pendek seperti transaksi politik atau adanya tekanan. Pada kasus Indonesia, koalisi model ini kerap muncul saat Pilkada, dimana konfigurasi koalisi antar daerah sangat sulit dipetakan (kalau tidak mau dikatakan serampangan). Pada Pilkada Serentak 2018 kemarin, PDIP yang di level nasional bersaing ketat dengan Gerindra dan PKS, terbukti di banyak daerah mereka berkoalisi.

Hal yang sama berlaku dihampir semua parpol, sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai fenomena pasar bebas koalisi. Dalam jangka panjang koalisi pragmatis semacam ini akan mengarah pada pendangkalan ideologi partai, yang pada gilirannya menghasilkan gerbong-gerbong kosong tanpa ide besar.

Padahal politik dan peradaban bermula dari ide-ide besar dimaksud. Menengok sejarah, para founding fathers kita tidak mungkin bisa memerdekakan bangsa Indonesia jika tidak mendorong narasi besar bernama nasionalisme. Saat itu relasi kesukuan dan monarki di daerah telah lebih dulu ada, nyata dan eksis. Ide besarlah yang membuat para raja, sultan, dan pemuka adat menerima konsep kebangsaan Indonesia.

Akhirnya kita berharap agar masih elit parpol yang peduli akan ide besar tersebut. Baik ide besar di tengah-tengah bangsa yang majemuk, maupun ide besar ideologi di partai politik. Yakinlah bila koalisi dibangun atas dasar hal-hal yang substansial semacam ini, akan membawa kemajuan bagi demokrasi dan kesejahteraan secara umum.

Jangan sampai hubungan antar elit dan pertimbangan taktis pragmatis lebih mendominasi pertimbangan membangun pattern koalisi mendatang, karena jika ini terjadi, maka reformasi yang kita perjuangkan bersama sejak 1998 akan berujung pada stagnasi dan arus balik. Dan ini bukan cerita fiksi, melainkan sudah banyak terjadi di negara-negara yang tengah berada dalam transisi demokrasi.

Leave a Reply