Indopos.co.id – Praktek money politics bertentangan dengan semangat fair play dan bisa membiaskan tujuan pendidikan politik pemilih melalui pemilihan umum (pemilu). Dengan makin kecilnya peluang calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) melakukan politik uang, diharapkan kualitas pemilu semakin meningkat, kedaulatan rakyat makin nyata dan peluang memilih calon terbaik (yang tidak mengandalkan uang-red) cukup terbuka.
Demikian hal tersebut dikatakan oleh Dosen FISIP Universitas Al Azhar Indonesia, Zaenal A Budiyono, mengenai pembatalan Capres yang melakukan politik uang Terstrktur Sistematis dan Massif (TSM) di Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden 2016, di Jakarta, Jumat (16/12).
“Makin kecilnya peluang capres dan cawapres melakukan politik uang diharapkan kualitas pemilu semakin meningkat, kedaulatan rakyat makin nyata dan peluang memilih calon terbaik cukup terbuka,” kata dia
Peluang akan lolos atau tidaknya di DPR nanti, lanjut ZaenaL, sepertinya aturan ini akan diterima dan diundangkan. Pasalnya, kata dia, sudah ada preseden di UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang mana aturan sejenis sudah ditegaskan. “Tidak mungkin semangat postif yang sudah muncul di Pilkada akan dinegasikan di level pemilu nasional,” ujar dia.
Meski begitu, aturan yang ideal tidak selalu mudah dieksekusi dalam tahapan pemilihan (politik praktis-red). Kerasnya tarik-menarik kepentingan antar kelompok politik di belakang pasangan capres-cawapres membuat pelaksanaan hukuman diskualifikasi capres masih sulit kita bayangkan. Apalagi ekses politik, keamanan dan sosial dari pembatalan capres sangat besar dan mahal.
“Belum lagi proses pembutikan pelanggaran politik uang TSM yang pastinya akan sangat kompleks di lapangan. Tafsir hukum yang berlainan dari berbagai pihak yang berkepentingan terhadap TSM juga berpotensi terjadi, sehingga akan memperlambat pemberian sanksi. Intinya aturan ini ideal, tapi berpotensi membentur tembok besar dalam pelaksanaan. Jangan sampai UU nantinya hanya menjadi macan kertas—garang di konsep, lemah dalam realisasi. Bukankan banyak pranata hukum kita yang demikian?” tanya dia.
“Apalagi sejauh ini belum ada preseden dibatalkannya calon kepala daerah oleh KPUD karena terbukti secara TSM memainkan money politics. Definisinya lagi-lagi terlalu lentur, disamping pembuktiannya yang berliku. Apakah memberikan ‘uang transport’ kepada massa dalam kampanye pilkada masuk kategori TSM? Apakah calon yang menyebutkan angka rupiah dalam program kerjanya juga bisa didiskualifikasi?” tambah Zaenal yang juga Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) ini.
Pada kasus terakhir sepertinya terjadi perbedaan pandangan antara KPUD dan penyelenggara lain, dimana KPUD secara tegas menolak program BLS Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni di Pilkada DKI Jakarta sebagai politik uang yang TSM. Sementara lembaga penyelenggara lainnya sepertinya berbeda pendapat.
“Maka tuntutan untuk menguji ‘keampuhan’ pasal TSM di UU Pilkada menjadi tidak populer sekarang ini di DKI (khususnya dengan munculnya ‘fatwa’ KPUD-red). Sebaliknya, setelah pendapat KPU, calon lain di DKI justru mengikuti pola Agus-Sylvi yang bicara APBD dalam programnya,” jelas dia.
Sementara waktu masyarakat boleh bertepuk tangan jika KPU diberikan kewenangan mendiskualifikasi pasangan yang terindikasi melakukan money politics. Tapi jangan sampai tepuk hanya berlangsung sejenak karena sulitnya memgeksekusi aturan ini. “Untuk itu perlu penjelasan dari pasal TSM yang detail sehingga tidak ada lagi ruang intepretasi yang tidak perlu. Terakhir, perlu adanya komitmen dari para elit politik untuk mengawal pasal ini, dengan cara tunduk pada aturan hukum dan perundang-undangan yang disepakati bersama,” pungkas dia.