Kompas.com – Rapat Pleno DPP Partai Golkar menghasilkan keputusan untuk mengembalikan kursi Ketua DPR kepada Setya Novanto. Golkar langsung memproses putusan tersebut.
Surat pengajuan pergantian Ketua DPR telah dilayangkan kepada fraksi dan pimpinan DPR.
Pergantian ini tak masalah secara hukum, baik tata tertib maupun Undang-Undang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3). Tapi resistensi dan tentangan marak disuarakan, bukan hanya di internal DPR, tapi juga eksternal.
Pergantian alat kelengkapan dewan (AKD), termasuk pimpinan DPR, merupakan kewenangan fraksi.
Namun, sejumlah anggota dewan menyarankan pergantian tersebut tak dilakukan.
Semisal Sekretaris Fraksi Partai Hanura Dadang Rusdiana. Pergantian tersebut menurutnya berpotensi memunculkan polemik baru yang mengganggu kondusivitas parlemen.
Terlebih, performa Ade Komarudin juga tak bisa dikatakan jelek. Dadang menilai sosok Ade masih tepat untuk memimpin DPR.
Golkar, kata dia, harus mau mengorbankan kepentingan politiknya untuk kepentingan lembaga.
“Walaupun ini persoalan internal Golkar tetapi karena menyangkut nama lembaga DPR tentu wajar kalau saya menyarankan sebaiknya tidak ada penggantian ketua DPR,” tutur Dadang.
Sementara itu, Anggota Fraksi Partai Nasdem Muchtar Luthfi A Mutty menyayangkan adanya wacana pergantian dari Ade Komarudin ke Setya Novanto tersebut.
Menurut dia, Setya Novanto yang sebelumnya menjabat Ketua DPR, telah memutuskan mundur dari jabatannya.
“Kita hidup berdasarkan aturan hukum itu penting. Tapi di atas aturan hukum ada etika. Etika persoalannya moral. Ini perlu diperhatikan,” kata Luthfi.
Luthfi juga khawatir jika pergantian Ketua DPR direalisasikan, energi bangsa akan tersita karena akan muncul perdebatan-perdebatan dan diskursus.
Dari internal partai, Tokoh Poros Muda Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia menjadi salah satu unsur partai yang belum sepakat dengan keputusan DPP Partai Golkar tersebut.
Doli menilai, rencana tersebut menunjukkan langkah politik yang berorientasi pribadi, kelompok dan konspiratif.
Keputusan tersebut diambil dengan mengedepankan kepentingan jangka pendek serta menimbulkan spekulasi adanya pengaruh kekuatan dan kepentingan di luar partai.
“Keputusan DPP Partai Golkar ini akan menimbulkan kegaduhan baru, baik di internal Golkar maupun di DPR. Dan itu akan memperburuk citra Golkar, mengganggu kinerja DPR, dan bisa menghambat kerja pembangunan. Rakyat akan menilai bahwa elitenya sibuk rebutan kue, sementara rakyatnya kelaparan,” kata Doli.
Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie juga angkat bicara. Meski belum menentukan sikap resmi, namun Aburizal berharap seorang pimpinan partai tidak rangkap jabatan agar bisa fokus dalam mencapai tujuan.
Dia menyebut bahwa jabatan ketua DPR dan ketua umum partai merupakan dua jabatan strategis yang membutuhkan perhatian penuh.
“Saya sampaikan bahwa ini adalah dua institusi penting, DPR dan ketua partai. Dua jabatan yang membutuhkan perhatian yang sangat penuh,” kata Aburizal.
“Kalau misalnya yang satu didahulukan, misal mendahulukan DPR, maka Partai Golkar tentu akan dirugikan karena waktunya tidak cukup nanti,” ujar dia.
Dari struktur DPP Partai, Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Yorrys Raweyai tak menampik jika rencana tersebut berpotensi menimbulkan pergolakan, baik dari eksternal maupun internal partai serta baik pada tokoh-tokoh senior maupun struktur di akar rumput.
Oleh karena itu, ia bersama jajaran DPP Partai gencar melakukan sosialisasi agar ke depannya tak ada pihak yang menjadi batu sandungan. ”
Supaya persepsi sama sehingga mereka tidak berimprovisasi sendiri-sendiri. Yang penting kan kami harus jelaskan apa adanya tentang kronologi kenapa sampai terjadi begini,” kata dia.
Sosialisasi ini bagian dari upaya untuk mengurangi potensi adanya pergolakan.
“Inilah kerja-kerja politik kita bahwa mulus juga tidak bisa menjamin. Tapi ini ada proses demokrasi yang sedang kita bangun dan Golkar ini public party, bukan private party, jadi berbeda pendekatannya,” kata Yorrys.
Golkar berpotensi pecah lagi
Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Zaenal A Budiyono berpendapat putusan Golkar untuk mengembalikan Novanto memimpin DPR terasa janggal.
Kejanggalan tampak dari salah satu alasannya, bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR tak pernah mencabut keputusannya yang menyatakan Novanto tidak melanggar etika pada kasus “papa minta saham”.
“Dengan demikian ia tetap dianggap menyalahi etika ketua lembaga tinggi negara sampai hari ini,” ujar Zaenal.
Kedua, keputusan putusan MK hanya memutuskan alat bukti tidak sah, namun tidak membahas etika ketua DPR.
“Maka bila Partai Golkar menggunakan dasar Putusan MK untuk mengembalikan Novanto ke kursi Ketua DPR, argumentasi yang dibangun tidak relevan,” kata Dosen FISIP Universitas Al Azhar Indonesia itu.
Langkah yang diambil Golkar menurutnya berpotensi mengundang kegaduhan baru. Padahal, Golkar baru saja sembuh dari “luka dalam” akibat perpecahan partai.
Kubu Ade Komarudin, kata Zaenal, pastinya tak akan begitu saja menerima pelengseran tanpa alasan tersebut.
Pasalnya, tak ada kesalahan signifikan yang dibuat Ade selama menjabat Ketua DPR.
“Golkar dalam waktu dekat berpotensi terjebak kembali pada konflik internal yang memakan energi. Konsekuensinya fokus Golkar dalam menghadapi Pilkada serentak dan Pileg 2019 akan terganggu,” ujarnya.
Zaenal menambahkan, posisi Ketua DPR secara politik dan diplomasi juga cukup sakral. Maka ia menilai tidak etis jika melakukan pergantian ketua berkali-kali dalam satu periode.
“DPR adalah simbol bangsa Indonesia di mata dunia. Jangan sampai pertarungan internal partai atau konflik di dalam negeri membuat citra DPR buruk di mata dunia,” kata Zaenal.