Mencetak tiga gol (hattrick) atau empat gol (quattrick) dalam satu pertandingan sepakbola bukan perkara mudah, hanya sedikit pemain yang bisa melakukannya, seperti Lionel Messi, Cristiano Ronaldo atau Miroslav Klose. Lalu bagaimana bila ada pemain yang mampu mencetak lima gol (quintrick) dalam satu laga? Fantastis! Itulah mungkin kata yang tepat untuk melukiskannya. Football memang berbeda dengan politik, tapi tak semuanya beda. Ada juga kemiripannya, yaitu bagaimana upaya masing-masing kubu meraih kemenangan. Terkait hal tersebut, politik nasional akhir-akhir ini menyuguhkan quintrick kemenangan Koalisi Merah Putih (KMP) atas Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang dimotori PDIP. Bagaimana tidak, hanya dalam waktu kurang lebih satu bulan sejak MK mengumumkan kemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (JK), KIH yang menjadi pendukung Jokowi tak berkutik di Senayan.
Kekalahan terakhir terjadi kala KIH gagal membendung paket pimpinan MPR dari KMP yang melaju mulus di gedung dewan. Sebelumnya KIH juga kalah merebut posisi puncak pimpinan DPR, RUU Pilkada, UU MD3 dan Tata-Tertib DPR. Bagi orang yang berfikir kritis, terjadinya quintrick kekalahan KIH dalam sebulan tentu bukan kekalahan biasa. Kalau dalam tim sepakbola, pasti ada yang salah dengan barisan pertahanan, kurang mobile-nya lini tengah, atau tumpulnya para striker. Politik selain sebagai ilmu, juga dikenal sebagai seni mempengaruhi lawan dan meyakinkan lawan. Politisi yang handal bahkan bisa meyakinkan lawan tanpa sang lawan merasa telah “memberi sesuatu” ke kompetitornya. Sementara yang terjadi di Senayan, KIH dan Jokowi-JK gagal meyakinkan barisan partai-partai dalam KMP dan yang netral sehingga peluang itu terbuang sia-sia.
Arogansi (jika boleh dikatakan demikian) KIH yang merasa telah memenangkan Pilpres 2014 diduga menjadi indikator gagalnya partai-partai tengah merapat ke barisan Jokowi-JK. Padahal kemenangan Jokowi-JK hanya 53%, tipis, tidak seperti capaian SBY-Boediono 2009 yang menang satu putaran dengan tiga pasangan kandidat. PDIP sebagai partai terdepan di KIH juga hanya memenangkan Pileg dengan 18% suara, artinya masih ada 82% suara yang harus didekati. Dengan kondisi tersebut, potensi untuk terjadinya “serangan balik” di parlemen dari KMP seharusnya sudah bisa diantisipasi sejak dini. Dan sekali lagi peluang itu ada, tapi tidak dimaksimalkan. Setidaknya ada dua partai yang potensial untuk diyakinkan, yaitu Partai Demokrat (PD) dan PPP. Terhadap PD—yang secara terang-terangan memainkan sebagai penyeimbang, PDIP memiliki “kartu truf” bila Ketua Umum Megawati Soekarnoputri bisa sedikit menurunkan gengsinya untuk berkomunikasi langsung dengan Ketum PD, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pasalnya sudah menjadi rahasia umum bahwa sejak 2005 SBY gagal bertemu Mega karena “alasan yang tidak jelas”. Hal ini terbukti saat pemilihan Ketua MPR lalu, dimana akhirnya PD putar haluan ke kubu KMP setelah komunikasi SBY-Mega mentok.
Selain PD, PPP juga bisa dijadikan “target lobi” oleh PDIP dan KIH, karena partai ini sejak awal memang tidak terlalu solid di KMP. Apalagi setelah terjadi gejolak internal berkali-kali, yang ini seharusnya bisa dibaca sebagai peluang oleh KIH. Goyangnya PPP juga akhirnya terbukti saat pemilihan Ketua MPR, dimana partai hijau ini menyeberang ke KIH, walaupun akhirnya bernasib sama dengan koalisi Jokowi yang kalah di MPR. Berangkat dari kegagalan strategi KIH plus PPP di MPR, bahwa koalisi tak bisa dilakukan secara ujug-ujug dan sporadis. Melihat kesolidan KMP, koalisi pendukung Prabowo-Hatta sudah kompak sejak sebelum Pilpres digelar. Spekulasi mereka akan rontok pasca kekalahan Prabowo nyatanya juga tak terbukti. Bahkan Golkar yang dalam sejarahnya tak pernah menjadi oposisi, kali ini terlihat percaya diri dengan pilihan politiknya.
Di luar itu, kegagalan lobi KIH juga akibat tidak adanya pengakuan bahwa power sharing dalam politik itu wajar dan sah. Sejak Pilpres Jokowi beberapa kali mencitrakan dirinya sebagai presiden yang tak suka bagi-bagi kursi. Dengan kata lain ia (mungkin) ingin mengatakan berjarak dengan partai politik yang kebetulan citranya memang belum baik-baik amat. Karena sudah kadung dipersepsikan negatif, akhirnya makna power sharing dalam politik sampai terjerumus dalam term “bagi-bagi kursi” ataupun “jatah menteri”. Ini sama sekali tidak nyambung, karena power sharing dalam sistem politik demokrasi itu merupakan suatu keniscayaan. Kecuali bila ada diantara kita yang ingin seperti Korea Utara, maka tak perlu ada power sharing.
Oleh karena partai mewakili kelompok kepentingan, maka power sharing dalam politik juga merupakan suatu keniscayaan. Hanya politisi yang “tak berpijak di bumi” yang mengingkari fakta ini. Terkait penyusunan kabinet oleh Jokowi, Sekjen PPP, Rohmanurmuzi mengaku pernah dilobi partai pendukung Jokowi agar PPP bergabung ke pemerintahan Jokowi-JK. Sebelum semua proses berlanjut, Romy menanyakan PPP mendapat apa atas dukungan tersebut. Pihak yang melobi tak bisa menjawab, karena partainya juga belum pasti mendapat proporsi seperti apa nantinya. Preseden seperti ini tentu bukan gejala yang sehat, karena sebenarnya power sharing bisa didiskusikan secara terbuka (tanpa ngumpet-ngumpet), dengan target yang jelas dan selanjutnya mendapat masukan masyarakat. Selama tujuan power sharing untuk mendukung konsensus bersama (kepentingan nasional) tak ada yang perlu dipersoalkan.
Ironisnya, Jokowi selama ini seolah menolak power sharing ketika ia mempopulerkan istilah “koalisi tanpa syarat”. Apa pula ini? Mana ada koalisi dalam politik tanpa syarat? Begitu pikir banyak orang. Dan akhirnya waktu jugalah yang membuktikan bahwa tidak semua jargon yang dijual Jokowi selama kampanye lalu bisa dijalankan. Bahkan kini satu per satu mulai berguguran. Pertama, janjinya untuk meciptakan kabinet yang ramping dengan 27 menteri sebagaimana dikatakan Tim Transisi tak terbukti. Dalam pengumuman postur kabinet belum lama ini, Jokowi memastikan kementeriannya berjumlah 34, sama dengan saat ini. Menanggapi “kegagalan” memangkas kementerian, Jokowi berargumen dengan logika yang sulit dipahami. Ia mengatakan, negara tetangga (Malaysia) yang jumlah penduduknya 24 juta memiliki kementerian 24. Sementara Indonesia dengan 240 juta penduduk, sudah wajar dengan jumlah 34. Kalau logika jumlah penduduk yang digunakan, lalu berapa jumlah menteri di China yang penduduknya 1,3 milyar?
Kedua, turunan koalisi tanpa syarat adalah akan membentuk kabinet profesional. Isu ini yang terus dimuntahkan tim sukses Jokowi selama Pilpres lalu dan hasilnya cukup bisa menjadi pembeda dengan Prabowo-Hatta yang sejak awal mengakui peran parpol pendukungnya. Tapi itu semua hanya jargon kampanye, karena faktanya pada pengumuman postur kabinet lalu, 16 dari 34 menteri dipastikan berasal dari parpol. Apa yang berbeda dengan kabinet Presiden SBY saat ini? Tidak ada. Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II juga diisi kalangan parpol dan profesional.
Kesimpulan dari tulisan ini, pertama, KIH dan Jokowi harus mengubah cara pendekatannya ke partai-partai lain di Senayan. Meski saat ini parlemen dikuasai KMP, bukan tak mungkin tetap bisa dicapai konsensus untuk mendukung program-program pemerintah yang pro-rakyat. Isu pemakzulan Jokowi-JK yang dihembuskan entah oleh siapa, juga terlalu mengada-ada. Selain tidak memungkinkan selama presiden tidak melanggar UUD 1945, juga karena di KMP-pun banyak politisi yang rasional. Kedua, perlu pelurusan makna bahwa power sharing bukan sekedar bagi-bagi kursi. Ia ada sebagai konsekuensi dari sistem demokrasi yang kita jalankan. Jangan sampai pemaknaan yang salah ini akhirnya merusak citra partai secara keseluruhan. Padahal dalam demokrasi, partai merupakan salah satu tiang penyangga demokrasi. Tak mungkin membangun demokrasi tanpa melibatkan partai politik.