Meski kunjungan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat (AS) belum lama ini dipersingkat dari jadwal sebelumnya, namun ada satu isu penting yang sempat dibicarakan antara Presiden Jokowi dengan Presiden Barrack Obama. Yang dimaksud adalah sikap Indonesia dalam merespons tawaran AS untuk bergabung ke dalam pakta perdagangan baru Trans Pacific Partnership (TPP).
Dari laporan sejumlah media di AS maupun nasional, Presiden Jokowi secara resmi mengatakan Indonesia berniat bergabung ke TPP dengan alasan bahwa kita merupakan negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN. Pandangan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menko Perekonomian juga menguatkan pernyataan Presiden. Di sisi lain, suara dari DPR dan masyarakat menunjukkan sebaliknya, agar Indonesia tidak buru-buru dan berhati-hati sebelum memutuskan bergabung atau tidak dengan pakta perdagangan baru ini.
Sebelum kita menyimpulkan perlu tidaknya Indonesia berada di TPP, harus terlebih dahulu kita pahami apa sebenarnya ‘makhluk’ TPP ini yang mulai populer pada 2009. Dari sejarahnya, TPP merupakan perluasan dari forum The Trans-Pacific Strategic Economic Partnership Agreement (TPSEP atau P4), yang ditandatangani Brunei Darussalam, Chile, Selandia Baru dan Singapura pada 2005. Lalu pada awal 2008, bergabung AS, Australia, Kanada, Jepang, Malaysia, Meksiko, Peru, dan Vietnam yang melengkapi negara anggota TPP menjadi 12 negara. Secara keseluruhan TPP saat ini sudah menjadi blok perdagangan regional yang dengan coverage 40 persen gross domestic product (GDP) dunia dan sekitar sepertiga seluruh perdagangan dunia.
Sejak keanggotaan gelombang kedua, profil TPP mulai diperbincangkan di sejumlah forum internasional. Hal ini dipengaruhi peran AS yang mengangkat TPP di berbagai kesempatan. Bagi AS sendiri TPP dianggap penting karena akan banyak menolong industri manufaktur dan pertanian mereka. Seperti pernyataan United States Trade Representative (USTR) bahwa TPP merupakan, ‘high-standard trade agreement that levels the playing field for American workers and American businesses, supporting more Made-in-America exports and higher-paying American jobs’. Diperkirakan, dengan pemberlakukan TPP akan diikuti dengan penghapusan lebih dari 18.000 jenis pajak di sejumlah negara yang menjadi hambatan produk-produk Amerika.
TPP Pasar AS?
Melihat semangat menggebu AS dalam mempromosikan TPP, hal ini tak lain karena mereka memahami ‘peta baru’ ekonomi dunia, di mana 95% konsumsi dunia berada di luar AS, khususnya dengan kebangkitan ekonomi di kawasan Asia. Maka dari itu di mata USTR, ‘…TPP will significantly expand the export of Made-in-America goods and services and support American jobs’. Di saat yang sama, terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi di AS dan Eropa yang mengakibatkan tertekannya ekspor negara Paman Sam tersebut dalam beberapa tahun terakhir. Dalam situasi yang sulit bagi AS tersebut, keberadaan TPP diharapkan dalam menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi.
Presiden Obama pertama kali menawarkan TPP kepada Indonesia bersamaan dengan KTT APEC Hawaii, 2011. Saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menolak ajakan AS, karena SBY ingin menguatkan peran Indonesia di lembaga kerja sama ekonomi dan pardagangan yang sudah ada, seperti ASEAN, APEC dan G-20. Pertimbangan pemerintah kala itu, energi kita akan lebih banyak terkuras bila peran Indonesia di lembaga-lembaga yang sudah ada saja belum sepenuhnya kokoh, namun di saat yang sama kita masuk pakta perdagangan baru. Selain itu, dengan pasar dalam negeri yang besar, sektor industri Indonesia tidak hanya bergantung pada ekspor semata. Dengan demikian opsi TPP belum menjadi prioritas.
Apalagi dengan segera diberlakukannya ASEAN Economic Community (AEC) 2015, akan lebih baik bila energi pemerintah digunakan untuk sekuat tenaga mendorong peningkatan daya saing tenaga kerja kita, sektor jasa, manufaktur dan iklim dunia usaha di dalam negeri. Terlebih Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bukanlah bentuk final dari masa depan ekonomi kawasan. Setelah MEA, kerjasama ASEAN akan menuju pada Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang merupakan sentalisasi ASEAN dengan lima mitra utama, yaitu China, Jepang, Korea Selatan, India, dan Australia-Selandia Baru.
Secara geopolitik dan ekonomi, kelima negara yang mengelilingi ASEAN di atas sangat strategis. Selain karena letaknya tidak terlalu jauh dengan ASEAN (sebagai target pasar ekspor), hampir semuanya juga merupakan kekuatan baru ekonomi global. Kembali ke TPP, fakta lainnya yang membuat kita harus menghitung lagi keikutsertaan, karena TPP memberlakukan aturan ketat yang akan menghambat kinerja industri kita. Serta di saat yang sama menguntungkan negara-negara maju.
Aturan-aturan yang nantinya diasakan tidak akan fair misalnya, pertama, negara-negara maju di TPP menuntut pemberlakukan perpajakan dan kebijakan keuangan yang sama (seragam) serta regulasi minim untuk menurunkan biaya operasional perusahaan-perusahaan multinasional. Aturan ini akan menguntungkan perusahaan multinasional, dan di saat yang sama mengurangi potensi penerimaan pajak negara-negara berkembang. Kedua, ada kemungkinan TPP melarang penggunaan kebijakan perdagangan yang memproteksi industri domestik. Dilihat sari sisi manapun, kebijakan ini sangat tidak pro terhadap penguatan industri nasional. Karena bagaimana pun juga politik proteksi kepada BUMN dan pengusaha nasional masih diperlukan agar mereka bisa eksis di tengah persaingan makin ketat. Ibarat petinju, industri nasional kita baru kelas bantam—melawan industri negara-negara maju yang masuk kategori kelas berat.
‘Revisi Niat’
Melihat kondisi demikian, dengan analisis sederhana saja kita tahu siapa yang akan menang. Oleh karenanya negara hadir dalam konteks proteksi untuk menjaga kekuatan industri nasional, bukan untuk memberikan previlage yang berlebihan. Ketiga, TPP juga tidak merekomendasikan penggunaan pembelian dari pemerintah untuk membantu perusahaan dalam negeri. Bila aturan ini berjalan, maka dipastikan industri nasional akan kesulitan hidup, karena stimulus APBN bagi industri kita porsinya masih besar, selain pasar ekspor. Keempat, TPP akan memberlakukan aturan ketak Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) yang akan memukul negara-negara berkembang, utamanya sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
Seperti analisa Matthew Rimmer, pakar hukum HaKI yang ditulis Sydney Morning Herald bahwa draft aturan HaKI di TPP akan menguntungkan tujuan perdagangan AS dan kepentingan korporasi multinasional. Di sisi lain, masih menurut Rimmer, TPP hanya memberikan sedikit perhatian atas hak dan kepentingan konsumen, apalagi kepentingan masyarakat luas. Selain empat sisi negatif TPP tersebut, masih ada beberapa poin yang linear dan akomodatif dengan kepentingan negara-negara maju. Semoga saja kita tidak sampai hanya sekedar menjadi pasar belaka dalam komunitas TPP.
Melihat kompleksnya aturan main di TPP, perkembangan mutakhir terkait TPP yang mencuat beberapa hari setelah pernyataan ‘niat’ Presiden Jokowi bergabung—sebagaimana disampaikan di Washington DC—Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi ‘meluruskan’ niat dimaksud. Dalam hal ini, kata Menlu, niat bergabung TPP harusnya diartikan sebagai langkah yang akan diambil pemerintah setelah Presiden dan Kabinet Kerja mempelajari seluruh detil TPP sehingga tidak ada poin-poin yang merugikan kepentingan Indonesia. Semoga saja ‘revisi niat’ tersebut berujung pada ‘revisi keikutsertaan’ Indonesia di TPP, karena dikhawatirkan justru memukul industri dan perekonomian kita.